Dua tabuik setinggi 12 meter tersebut diguncang-guncangkan ke kiri dan kanan dan dibawa dari pusat kota ke pantai oleh sekitar 20 orang laki-laki. Setiap gerakan dari dua tabuik diiringi oleh 12 gendang tasa yang ditepok dengan irama semangat-meriah. Berkali-kali kata "Angkat Hussein" diteriakkan. Itulah suasana perayaan 10 Muharram (Asyura) di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Kedua tabuik tersebut, Tabuik Pasa, yaitu tabuik dari pasar, dan Tabuik Subarang, yaitu tabuik dari seberang pasar, dibuat 12 hari sebelumnya.
Tabuik adalah patung Bouraq, atau kuda bersayap burung dan berkepala manusia yang berbentuk kepala gadis tersenyum. Pada punggung tabuik terdapat peti mati dengan dekorasi yang indah dan dihiasi dengan payung pada bagian atas. Pada bagian sisi, dihiasi dengan delapan bunga kertas.
Ditemani oleh suara gendang, masing-masing tabuik itu diarak dalam suatu prosesi ke pusat kota, di mana upacara pembukaan Festival Tabuik berlangsung.
Festival ini secara resmi dibuka di pagi hari dengan pertunjukan kesenian tradisional Pariaman, termasuk indang, atau tari gelombang, seni bela diri lokal dan tari Melayu.
Rata-rata sekitar 100.000 orang diperkirakan menghadiri perayaan ini, yang dibiayai oleh masyarakat setempat. Mereka datang tidak hanya dari Pariaman tetapi juga dari kabupaten lain dan kota-kota di Sumatera Barat. Beberapa turis asing turut hadir.
Perlahan kedua tabuik tersebut dibawa ke pantai, yang berjarak sekitar 300 meter. Kadang-kadang mereka harus direbahkan di tanah dan diseret untuk menghindari kabel listrik dan telepon. Acara ini mencapai puncaknya saat kedua tabuik tersebut dilemparkan ke laut saat matahari terbenam, yang melambangkan peti mati Imam Hussein dibawa ke surga oleh Bouraq.
Tabuik bukan hanya patung dekoratif semata. Namun ada tujuh ritual dalam proses pembuatannya, mulai dari tanggal 1 sampai10 Muharram setiap tahunnya. Pada tanggal 1 Muharram, yang menandai proses pertama dalam pembuatan sebuah tabuik, lumpur yang dikumpulkan dari sungai dibungkus kain putih, kemudian dimasukkan ke dalam panci dan pot gerabah dan disimpan dalam lalaga, yaitu sebuah wadah berukuran tiga meter persegi dan dipagari sekelilingnya dengan dengan parupuk (potongan bambu kecil).
Lumpur yang dibungkus kain putih melambangkan makam Hussein. Lalaga ini dilengkapi dengan atap berbentuk kubah yang terbuat dari kain putih. Lumpur ini akan diletakkan di sana sampai dimasukkan ke dalam tabuik pada tanggal 10 Muharram.
Pada tanggal 5 Muharram, proses kedua dimulai. Dalam proses ini, yang berlangsung pada malam hari, batang pohon pisang dipotong dalam satu kali tebas. Ini adalah simbol keberanian Abi Kasim, putra Imam Hussein, dalam membalas kematian ayahnya.
Pada tanggal 7 dan 8 Muharram, ada dua proses lainnya, yaitu Maatam dan Maarak sorban. Maatam melambangkan tindakan mengumpulkan jari Imam Hussein, yang tersebar setelah mereka telah dipotong oleh tentara Raja Yazid, sedangkan Maarak sorban melambangkan tindakan mengarak sorban Imam Hussein di sekitar kota untuk mengingatkan semua orang dari keberanian bahwa Imam Hussein menunjukkan ketika melawan musuh-musuhnya
Kemudian pada tanggal 10 Muharram, tabuik diarak sampai ke laut dan kemudia lemparkan ke laut.
Prosesi tabuik ini seperti ini terjadi setiap tahun. Melontar tabuik ke laut merupakan acara tahunan yang telah berlangsung setiap 10 Muharram di Pariaman sejak tahun 1831. Ritual Asyura ini, yang dilakukan oleh Muslim Syiah, diperkenalkan kepada masyarakat Pariaman oleh pendatang Muslim Syiah dari India. Pada masa itu, Pariaman adalah kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatera. Kelompok ras dan etnis yang berbeda tinggal di sana, termasuk Aceh dan Arab yang muslim. Sedangkan pendatang dari India adalah mantan pasukan Inggris di bawah komando Thomas Stamford Raffles, yang awalnya bermarkas di Bengkulu.
Setelah penandatanganan Perjanjian London pada tanggal 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, daerah pantai barat Sumatera yang sebelumnya dikontrol oleh Inggris, diserahkan kepada Belanda. Beberapa tentara dari India memilih tetap di Pariaman . Mereka adalah para pendatang India yang mendorong penduduk setempat untuk mengadakan ritual Asyura dengan membuat tabuik untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW.
Warga Pariaman adalah pengikut dari Mahzab Syafi'i, yang dibawa oleh Syech Burhanuddin, ulama pertama yang menyebarkan Islam di Sumatera Barat. Ritual tabuik dengan mudah memperoleh penerimaan di Pariaman karena Syech Burhanuddin memperkenalkan Islam di Pariaman melalui pendekatan budaya dan dengan toleransi yang besar bagi kebiasaan setempat.
Ritual tabuik dilakukan untuk memperingati wafatnya Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Hussein tewas dalam Perang Karbala di tempat yang sekarang bernama Irak, ketika memimpin pasukan muslim melawan pasukan Bani Umaiyah dari Suriah dipimpin oleh Raja Yazid.
Para pengikut Imam Hussein percaya bahwa bagian yang rusak dari mayat Hussein, yang bertebaran di tanah, dikumpulkan oleh seorang malaikat naik Bouraq dan mayat bersatu kembali diangkat ke surga.
Ketika Bouraq hendak terbang bersama tubuh Imam Hussein, salah satu pengikut Hussein melihatnya dan meminta ikut serta. Malaikat menolak permintaan tersebut dan menyuruhnya untuk membuat Bouraq imitasi dan tabuik (peti jenazah) setiap 10 Muharram untuk memperingati kematian Imam Hussein. Inilah asal muasal ritual tabuik.
0 comments:
Posting Komentar