Rabu, 01 Februari 2012

Masjid Raya Gantiang - Padang


TUHAN TELAH MATI

(dari sebuah lagu lama yang mendengung diingatan)

Saat melintas di simpang Tabing,
Aku lihat orang berwajah putih nyebrang
Pakaiannya serba putih terlambai tertiup angin petang
Dan sang surya pergi ke pantai barat ingin cepat pulang

Wajahnya sayu dengan senyum kuyu
Aku menyapa basa basi sambil lalu
"Apa kabar pak tua?"
Dia berhenti dan menatap padaku
Bola matanya buatku merinding; hijau

"Kabar duka" jawabnya pendek
"Apa yang terjadi? memang bapak siapa?"
"Aku adalah malaikat" ucapnya masih dengan suara serak
Aku tertawa, tertawa lepas tak peduli ada di depannya
Mungkin dia orang gila di seputaran tugu Adipuran yang tengah mabuk!

"Dari mana wahai engkau malaikat? apa kabar Tuhan hari ini?" ikut gila celotehku
"Tuhan telah mati"
"Tuhan mati? Sang Awal dan Sang Akhir telah mati?" terbahak aku
Orang mabuk dan gila sepertinya mulai jadi penghias kota tua!

"Kenapa engkau tertawa wahai anak muda? aku baru saja dari acara penguburan Tuhan!"
Aku diam, sementara gelap telah mencengkram
Angin malam mulai mendingin
Lampu-lampu kendaraan berseliweran buram
Khatib Sulaiman mulai menguning bertabur lampu jalan
"Pak tua, kau kualat. Dia adalah Tuhan. Dia bukan makhluk namun Dia adalah penguasa makhluk. Kekal adalah sifat tak terbantahkan!"

"Pak tua, kau kualat! kau benar-benar kualat! cepatlah bertobat,
dan kau bukan malaikat, kau sekadar orang gila yang mabuk berat"
Orang pucat itu menatapku erat
Mata hijaunya membesar buat kutakut
Tapi dia bercanda dengan Tuhan buat marahku larut

“Anak muda kenapa engkau tak percaya padaku?”
Suaranya pelan tetap serak
Apakah kesedihan di situ?
Bulan sabit tertutp awan di atas gonjong Padang bersama bintang-bintang perak
“Bagaimana aku bisa percaya padamu wahai malaikat penipu?”

“Aku baru saja dari pemakaman Tuhan!” kini suaranya mengeras
“Aku tak percaya, kau orang gila yang sedang mabuk!” sanggahku tegas
“Aku bukan penipu dan bukan orang gila atau mabuk. Aku malaikat!”
“Cobalah terangkan padaku wahai malaikat tua; kapan dan di mana Tuhan di makamkan? Dan bagaimana Tuhan bisa mati?” aku mengalah pada orang gila yang mabuk
(semoga aku tak ikutan gila serta mabuk pula)

Mulailah ia bercerita,
“Aku baru saja berjalan-jalan menyusuri kota,
Aku lihat orang-orang beribadah di mal-mal,
Aku lihat orang-orang rukuk di lantai dansa,
Aku lihat orang-orang sujud pada harta,
Aku lihat orang-orang menghamba pada manusia,
Aku lihat mereka telah mengganti kitab suci dengan televisi,
Aku pun mendengar mereka mengaji dengan ayat-ayat yang tak pernah aku sampaikan pada rasul yang agung 14 abad yang lalu,
Dan mereka mulai berzikir untuk mengagungkan materi,
Tuhan telah mati….. Tuhan telah mati….”

Malam semakin gelap dan angin mulai menembus jaket
Di atas trotoar Samudera,
Dua pasang muda-mudi lalu di depan kami,
Berjalan berdekapan erat seolah ingin melawan dingin

Pak tua bermata hijau itu melanjutkan ceritanya,
Suara serak kini makin mengeras,
“Mereka usung keranda yang berisi Tuhan dalam balutan kealiman saat menjalankan larangan Tuhan,
Kau tahu,
Aku mendengar sekelompok orang bicarakan BT di teras masjid usai sholat magrib!
Mereka tengah mengusung-Nya….. mereka adalah pengusung keranda itu!”
Kalimat terakhir dilafaskannya dengan lengkingan keras

“Lalu mereka mengubur Tuhan dalam diskusi yang berisi Tuhan itu ada di mana-mana!
Hingga tak ada lagi yang Esa
Engkau tahu wahai anak muda,
Dia adalah satu, tak beranak dan tidak diperanakkan,
Tak ada yang menyerupainnya!”
Aku diam seribu bahasa,
Tuhan, semoga Engkau masih hidup dalam diri rapuh ku…

September 2011, Rifki

Puisi Rifki Ferdiansyah
RIFKI FERDIANSYAH, 28 tahun yang lalu lahir di Semarang; tepatnya pada hari keempat di bulan Mei 1983. Menamatkan kuliah Sastra Inggris di Universitas Bung Hatta pada tahun 2005. Tertarik dengan dunia jurnalistik dan sempat merasakan dunia jurnlis. Namun, profesi guru bahasa Inggris di salah satu Sekolah Menengah Pertama kota Padang menjadi aktivitas sehari-harinya kini. 

0 comments:

Posting Komentar