Senin, 02 Januari 2012

Kenangan Masa Kecil di Danau Singkarak - Lake Singkarak of Tour de Singkarak, My Motherland

Kabut tebal sudah mulai menipis, namun pelukan dingin masih menusuk sampai ke tulang. Proses hibernasi sudah hampir selesai, namun sebagian masih berusaha memperpanjang lelap, seakan enggan berpisah dengan dekapan malam.


Yuang...Jago lah lai…lah ka subuah..(ayo bangun nak…sudah mau subuh)….kata Uwak (nenek) membangunkan kami… Sementara kami baru mengucek mata, beliau sudah lengkap dengan peralatan perangnya berupa piring-piring dan pakaian yang akan dicuci. Piring-piring diletakkan didalam baskom yang kemudian diletakkan di atas kepala beliau.Tangan kiri membawa ember berisi pakaian, sedangkan tangan kanan membawa ember kosong yang nantinya akan diisi air mentah dari danau yang akan dimasak untuk air minum. Kami berusaha untuk bangun. Ah...mata ini masih berat dan badan ini belum bisa diajak berkawan dengan dingin yang masih menusuk tulang. Terpaksa lagi pelukan sarung dikencangkan. Ah terasa nikmat jika badan ini bisa merapat ke lantai lagi....ya lantai karena kami semua tidur di lantai yang beralaskan tikar karena kamar yang lima tidak digunakan lagi sejak lama...Takut kata Ibu ketika saya menanyakan kenapa tidak tidur di kamar saja...


Uwak kemudian turun dari rumah gadang kami yang memiliki ruangan/kamar sebanyak lima buah…istilah orang Minang rumah gadang kami adalah Rumah Gadang Limo Ruang. Setiap langkah beliau serasa menyayat hati karena rumah gadang ini kayu-kayunya sudah banyak yang lapuk dan dimakan bubuk (sejenis rayap kayu)…Ah rumah ini memang sudah lama dibuat. Kata Uwak dulu untuk membangun rumah gadang ini diadakan dulu musyawarah dalam suku Sumpadang (suku ibu saya), setelah semua setuju maka beramai-ramai mereka ke hutan untuk mencari kayu untuk tiang-tiang utama. Kayu-kayu tersebut kemudian digotong beramai-ramai dari hutan ke tempat pendirian rumah gadang. Kemudian akan ada upacara untuk pendirian tonggak (tiang) utama tersebut sekaligus doa keselamatan dipanjatkan kepada Tuhan Pemilik Alam Raya ini. Setiap berkunjung ke rumah gadang sering pandangan saya layangkan ke atas salah satu pintu dari kamar yang ada. Di sana ada pigura yang  berisikan tulisan dalam bahasa arab melayu yang saya susah untuk membacanya. Tapi yang pasti disana ada angka 1921. Itu tahun renovasi rumah gadang ini kata uwak….Oooo kata saya dalam hati sambil melongo….


Masih kelam di luar rumah gadang ketika kami turun meniti tangga beranda rumah gadang. Nyala lampu strongkeng (petromaks) sudah lama berganti dengan lampu semprong (lampu teplok/sentir) sejak kami mulai tidur. Tak ada penerangan jalan tidak menjadi beban, karena jalan sudah hapal. Memang tak salah jika nenek moyang kami berpepatah "pasa jalan dek ditampuah, lanca kaji dek di ulang" yang kurang lebih bermakna bahwa "jalan menjadi ramai kalau sering dilewati orang dan pelajaran akan lebih lancar kalau sering diulang"...... Ah pasti air danau singkarak sangat dingin sesubuh ini...... Belum sampai di danau kami sudah menggigil membayangkannya.


"Ka pai kama yuang (Mau kemana nak?)" tanya seorang ibu ketika kami melewati depan rumah gadangnya."Ka pasia mak (ke pasir bu)" jawab kami. Kalau ke danau memang kami menggunakan istilah "pasia" yang berarti pasir. Entah mengapa digunakan istilah itu, mungkin karena nama desanya Pasir atau karena memang pinggir danau kami ini berpasir...entah..


Tak sampai lima menit kami sudah sampai di pemandian pinggir danau. Lokasinya persis di mesjid. Antara pemandian laki laki dan perempuan terpisahkan oleh bangunan surau (musholla) dan  sebatang pohon beringin raksasa yang akarnya menjuntai sampai ke tengah danau (ah kata "tengah danau" terlalu berlebihan...tapi tukang kaba biasanya senang melebih-lebihkan kata supaya jadi seru ceritanya)


Di dekat pemandian pinggir ada lantai beton seperti dermaga. Kami pun meletakkan pakaian di atasnya. Dingin semakin menusuk tulang. Dengan ragu kami celupkan jemari kaki ke air yang dingin.....ternyata tidak sedingin yang kami bayangkan, bahkan terasa lebih hangat dari udara sekitar. Kami pun menjadi lebih yakin dan kemudian menceburkan diri ke dinginnya air danau....Segar sekali rasanya...Badan terasa hangat meskipun dingin masih menyiksa hidung dan telinga kami...Cerita uwak memang benar bahwa kalau mandi di danau itu lebih baik pagi sebelum subuh karena airnya lebih hangat...


Kami sudah selesai mandi ketika gharin (marbot) sudah bersiap mengumandangkan azan subuh. Selesai azan kami pun sholat sunnah dan kemudian sholat berjamaah yang dipimpin oleh imam yang sering disebut pakih.


Selesai sholat subuh kami berjalan pulang sambil bercanda ria dengan teman-teman seangkatan. Kicau burung turut mengiringi kegembiraan kami. Pagi yang indah...Di rumah sudah menunggu ketan dan pisang goreng....





0 comments:

Posting Komentar